Percaya atau Tidak

Sifat orang terkadang membingungkan. Kami pun mengalaminya.

Suatu waktu ketika kami memarkirkan motor di salah satu toko buku mahal (bagi kami),  kami diperintahkan petugas parkir untuk tidak mengunci motor kami. Alasannya, karena motor kami menghalangi motor lainnya, jadi agar mudah dipindahkan, motor kami sebaiknya tidak dikunci. Petugas parkir pun meyakinkan kami bahwa motor lainnya dengan posisi parkir yang horizontal tidak mengunci motornya.

Kami sebenarnya sempat ragu, namun bagaimana lagi, jika kami ingin parkir di tempat ini, ya harus menuruti titahnya. Kami bisa saja tidak jadi parkir di sana dan memilih tempat lain, namun karena alasan kepraktisan, kami memilih tetap parkir di tempat tersebut.

Baru kali ini rasanya ada parkiran, (yang masuknya menggunakan kartu) dimana si petugas menyuruh customernya untuk tidak mengunci motornya. Kami sebetulnya khawatir. Takut motor dicuri atau apalahh. Namun sepertinya kami dipaksa harus percaya dengan petugas parkir tersebut. Kami pun akhirnya percaya

Di lain hari dan tempat, kami lagi-lagi dihadapkan dengan masalah kepercayaan. Pagi itu, kami sedang terburu-buru, memburu foto untuk dimuat di blog ini. Saat itu kami membutuhkan beberapa foto lagi, maka dari itu kami berjalan dengan lebih cepat. Dengan sesekali setengah berlari kami mencari lokasi yang tepat. Namun di tengah perjalanan, kami “dihadang” orang tidak dikenal.

Derap langkahnya yang setengah berlari sempat terdengar, namun tetap saja kami tak memperhatikannya karena sedang terburu-buru. Kami baru sadar ketika ia menghadang kami dan otomatis membuat langkah kami terhenti

“ Mas, Mas mahasiswa kan?” Tanya nya terburu-buru

“ Iya…” Jawab kami sambil berdusta dan sedikit kaget

“Mas tolong saya ibu saya sedang sakit, belum makan, butuh beras…….” Timpal lelaki itu

“ Mas tahu kan warung yang di depan itu, bisa tolong ambilkan beras, dan blablabla(kami sudah malas mendengarnya)” tambah lelaki muda itu

“ Wah, Mas ke yang lain saja” Jawab kami sambil menunjuk orang lain yang sedang mencuci mobil kemudian ngeloyor jalan lagi

Beberapa detik kemudian kami melanjutkan langkah kami. Pemuda itu nampaknya urung untuk meminta tolong pada orang yang saya remokendasikan (orang yang tengah nyuci mobil). Padahal orang itu telah bertanya ada apa pada pemuda tersebut. Dan, setelah beberapa meter kami berada di depannya, dari belakang terdengar suara pemuda tersebut.

“ Dasar Mahasiswa Pelit!”

Hah untung saja kami bukan merupakan mahasiswa. Setelah itu ia menghilang.

Saat kami “dicegat” oleh pemuda tersebut kami tak berpikiran negatif terhadapnya. Tak kepikiran bahwa ia akan ngompas, menghipnotis, atau hal buruk lainnya. Kami hanya kesal karena kami yang tengah terburu-buru dihadang tiba-tiba saja olehnya. Serupa ketika kami sedang buang air besar dan pintu kamar mandinya digedor-gedor, maka kami pun akan marah atau kesal. Mungkin setelah dipikir-pikir, ternyata kami cukup egois.

Kami juga berpikir dengan tubuh yang bugar dan usia yang muda, pemuda tersebut masih bisa bekerja atau berusaha lebih hanya untuk mendapatkan sebungkus nasi. Atau  bisa saja ia langsung berbicara kepada pemilik warung nasinya. Ya itulah pembenaran kami.

Dengan cara bicara, gesture, dan pakaiannya, entah kenapa kami tak percaya padanya. Saat itu juga kami seolah tak peduli lagi bahwa ibunya benar-benar sedang sakit. Intinya dari dari sudut pandang kami ia berkata bohong dan oleh karenanya kami tak percaya ibunya sedang sakit. Ya, kami terkadang dapat begitu sangat egois.

Namun dari kejadian kami di atas, sepertinya, rasa percaya merupakan hal yang tak mudah di dapat oleh orang kota (hmmm, kami bukan orang kota sebenarnya, hanya tingga di kota). Kepercayaan tersebut cukup mahal harganya di kota. Orang kota juga cenderung bersikap lebih hati-hati untuk percaya pada orang. Jadi tanpa modal apapun (sosial atauu material), kepercayaan akan sulit kita dapatkan dari orang di kota.

Dari hal di atas juga sekaligus memperlihatkan seolah warga kota juga dapat memberikan rasa percaya di suatu waktu dan tempat, namun di waktu dan tempat lainnya ia dapat terlihat begitu arogan, curigaan, dan tak mudah percaya pada orang lain. Ia dapat menjadi begitu baik, namun dapat menjadi seorang yang masa bodo dengan yang lain.

Ya itulah orang kota (kami tidak mengeneralisir lho).

Huh…Untung saja kami bukan orang kota, kami hanya tinggal di kota namun perilaku kami tulen ndeso.

***