Yang Mistis Yang Harmonis



Kepercayaan suatu komunitas ataupun kelompok masyarakat adat biasanya berkaitan erat dengan cara hidup mereka. Hal ini terutama berhubungan langsung dengan kebutuhan survival mereka. Pada masyarakat tribal, alam sekitarnya bisa dibilang dewa kehidupan bagi mereka. Semua kebutuhan sandang, pangan, dan papannya merupakan limpahan dari kekayaan alam sekitar tempat mereka tinggal.

Secara geografis, suatu suku biasanya menempati suatu lokasi yang terpencil. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan lingkungan[1]. Keterbatasan lingkungan ini merujuk pada suatu daerah yang mempunyai kesuburan tanah ataupun daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah tetapi daerah ini dikelilingi oleh rintangan alam seperti tebing, jurang, dan lautan. Hal ini membuat seolah-olah suku tertentu mengisolasikan diri. Keuntungan dari SDA tempat mereka tinggal ini tentu saja sudah membuat mereka bisa tetap survive. Hal ini ditambah lagi dengan adanya rintangan alam sekitar. Maka dapatlah dimengerti bahwa suatu suku akan merasa nyaman hidup di lingkungannya dan akan terus hidup di daerahnya dari generasi ke generasi.

Dengan kebudayaan kaum peninggal[2],mereka hanya mengambil atau lebih tepatnya memanfaatkan apa yang ada di alam dan meninggalkan yang tidak diperlukan. Apa yang mereka ambil merupakan apa yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup. Dengan cara ini mereka tidak akan merusak lingkungan tempatnya tinggal. Mereka akan hidup berdampingan dengan makhluk hidup di sekitarnya. Tanaman hijau akan tetap sebagai rantai makanan di tingkat pertama dan menghasilkan oksigen bagi makhluk sekitarnya. Populasi hewan herbivora akan stabil dengan tidak dieksploitasi oleh manusia sehingga menyediakan cukup kalori bagi para predator. Sisa makanan predator yang berupa bangkai akan membusuk di tanah dan menjadi pupuk yang baik bagi tanah yang memungkinkan tanaman tumbuh subur. Dengan kebudayaan peninggalnya, suatu suku akan menciptakan suatu simbiosis mutualisme dengan lingkungannya. Suatu ekosistem tidak hancur dan lingkaran hidup tidak akan pernah terputus.

Melimpahnya sumber makanan dan kebutuhan hidup lainnya tentu tidak dipandang sebagai hal yang biasa oleh suatu suku. Mereka memandang ini sebagai suatu berkah yang sangat membantu mereka dalam rangka bertahan hidup. Ada suatu kekuatan yang mengatur semua kejadian di sekeliling hidup mereka. Mereka menganggap bahwa benda, baik hidup ataupun mati mempunyai suatu spirit. Suatu kekuatan tak terjamah yang hidup di balik benda-benda tersebut. Kekuatan besar yang memberi mereka kehidupan.

Sebagai respon atas hal-hal ajaib[3], mereka kemudian berasumsi bahwa semua mahakarya alam ini ada empunya. Maka dari itulah kemudian mereka memuja roh-roh yang ada dibalik setiap fenomena yang terjadi. Pohon-pohon besar yang banyak menghasilkan buah selalu disembah, dipuja, dan diadakan ritual tertentu untuk persembahan bagi pohon tersebut. Mata air yang sepanjang tahun selalu mengalir disembah sebagai dewa kehidupan dan dianggap dapat menyembuhkan penyakit. Setiap pergantian musim mereka melakukan ritual untuk menyambut datangnya musim baru dan berharap diberi kehidupan yang lebih baik pada musim itu.

Berbagai ritual yang mereka lakukan tentu sebagai “konsekuensi” atas anggapan mereka terhadap roh dan dewa yang hidup di sekitar mereka. Melihat bahwa benda di sekitar mempunyai kekuatan dan bisa “hidup”, maka mereka merasa harus melakukan sesuatu sebagai rasa terima kasih terhadap alam. Dari situlah timbul mitos-mitos, kutukan, dan tabu. Jika mereka melanggarnya, maka  dewa ataupun roh penguasa alam akan marah. Sesuatu yang buruk akan menimpa mereka. Kebakaran, kelaparan, banjir, dan bencana lainnya.

Ritual ataupun upacara-upacara tidak hanya berbentuk sebagai rasa terima kasih atas apa yang telah alam beri pada mereka .Hal serupa pun dilaksanakan pada saat bencana yang tiba-tiba datang menerpa. Ritual pengusiran roh, permintaan maaf, persembahan, dan penyerahan tumbal diadakan saat alam tidak berputar sebagaimana mestinya. Jika sebelumnya serangkaian upacara sebagai bentuk rasa terima kasih, maka kali ini upacara yang mereka lakukan sebagai bentuk permohonan maaf  kepada para dewa.

Pada masyarakat tribal hubungan antara way of life dengan alam sekitar merupakan suatu hubungan yang saling menguntungkan. Terdapat hubungan interdependensi antar yang satu dengan yang lainnya. Jika salah satu di antara aspek tersebut mengalami gangguan maka akan menggagu aspek lainnya. Dalam hal ini bisa saya katakan bahwa kepercayaan suatu masayarakat tribal bergantung pada fenomena-fenomena alam di sekitarnya. Adanya suatu peristiwa alam yang tak terpecahkan membuat mereka mencari jawaban bagi fenomena tersebut dan jalan keluarnya ialah melalui kepercayaan.

Suatu hal yang menurut kebanyakan orang tidak masuk akal mengenai kepercayaan masyarakat tribal terhadap roh dan dewa-dewa. Hal yang ironisnya efektif bagi kelestarian alam beserta isinya. Suatu nilai-nilai luhur tentang bagaimana memanfaatkan alam yang merupakan warisan kaum peninggal yang sekarang sudah dicampakkan oleh kaum pengambil.

***

[1]Teori keterbatasan (circumscription theory) dipopularkan oleh Carniero. Sebenarnya ia menggunakan teori ini untuk melacak asal mula munculnya negara pristin dan arah suatu evolusi politik

[2]Istilah kaum peninggal saya pinjam dari novel Ishmael karya Daniel Quinn. Kaum ini biasa diartikan sebagai orang primitif atau suku-suku terpencil  yang masih amat tergantung secara langung pada alam untuk hidup. Sebaliknya Kaum Pengambil ialah manusia dengan peradabannya, terutama setelah terjadi intensive agriculture dimana surplus pangan sudah dapat mulai dihasilkan. Orang yang telah mampu menaklukan lingkungannya. Singkatnya kaum ini orang-orang modern lah seperti kita ini

[3]Fenomena alam seperti pergantian musim dan migrasi besar-besaran sekelompok burung menjelang musim semi tentu saja hal yang ajaib menurut kapasitas pikiran mereka. Mustahil rasanya mereka melihat hal itu sebagai akibat dari perubahan tiupan angin/ tekanan udara dan pencarian udara yang hangat untuk melangsungkan musim kawin bagi burung.