Green Pop

Sejak isu pemanasan global menggema di seluruh penjuru dunia, seolah banyak hal yang harus beradaptasi dengannya. Ia seperti menggelitik kesadaran banyak pihak. Mulai dari individu, pemerintah, hingga perusahaan. Namun salah satu yang harus menyesuaikan dengan hal tersebut dan berpikir keras ialah pihak perusahaan. Korporasi-korporasi besar yang menawarakan produknya ke berbagai belahan dunia. Mereka harus memutar otak bagaimana memproduksi barang dengan ramah lingkungan.

Perusahaan yang memproduksi barang secara masal tentu akan menemukan kesulitan tersendiri. Bagaimana biaya produksi yang membengkak akibat inovasi dalam merancang produk ramah lingkungannya. Namun satu hal yang harus dilihat, bahwa perusahaan ini pasti akan terus memeras otak demi mengeruk laba walau bagaimanapun caranya. Dan tentu saja mereka harus memproduksi barang yang ramah lingkungan sembari mendapatkan untung. Ya, fitrahnya mereka kan cari untung.

Kini kita tentu tak asing lagi dengan barang-barang yang katanya ramah lingkungan tersebut. Mulai dari ponsel yang bahannya terbuat dari daur ulang, laptop hemat listrik, penghangat air, LED TV, hingga mungkin hunian yang konon ramah lingkungan. Gembar-gembor tersebut sudah sering saya lihat. Baik di pameran, baligo, atau iklan di televisi. Dan tentu saja bukan perusahaan abal-abal yang melakukan inovasi ini. Lihat saja bagaimana Honda memproduksi banyak varian mobil yang ramah lingkungan.

Namun bagi saya yang menarik di sini ialah seolah inovasi produk ramah lingkungan tersebut tak ubahnya promosi biasa, seperti promosi mereka sebelumnya. Tentu saya hargai usaha mereka dalam menjaga kelestarian bumi ini. Namun bagi saya mau apapun yang diproduksi secara masal, oleh korporasi besar, yang mengupah jutaan pekerjanya di seluruh dunia, tetap saja akan membebani lingkungan. Setidaknya hal tersebut tetap saja akan memberikan efek lanjutan yang berantai pada masalah lingkungan.

Adanya perusahaan yang memproduksi barang ramah lingkungan nampaknya masih terbatas. Misalnya mereka hanya memproduksi jenis terentu, sedangkan produk mereka pada umumnya masih belum ramah lingkungan. Hal ini tentu terkendala besarnya biaya penelitian dan pengembangan demi inovasi baru ini.

Hal di atas senada dengan yang dikeluarkan oleh Greenpeace pada survey mereka tentang elektronik hijau yang diberi nama Guide To Greener Electronic. LSM tersebut melihat ada tiga kecenderungan yang ditekankan dalam produk ramah lingkungan, yakni pengurangan bahan kimia berbahaya, energi efisiensi, dan kemampuan daur ulang. Namun Greenpeace menyayangkan bahwa para produsen masih lalai dalam proses produksinya yang menghabiskan energi dalam jumlah yang besar (Media Indonesia, 11/01/2011).

Konsumen pun nampaknya masih belum terlalu peduli dengan inovasi tersebut karena sebagian besar tak mampu menjangkaunya. Di Negara berkembang ini, jargon murah meriah masih tetap diminati sebagian besar orang. Mereka masih senang icip-icip terhadap berbagai produk canggih yang baru tiba di pasaran. Maka, tak aneh jika berbagai alat elektronik dan bangunan ramah lingkungan masih kurang dilirik oleh sebagian besar konsumen Indonesia. Selain karena harganya mahal, konsumen pun nampaknya tak mau ambil pusing dengan teknologi tersebut ditengah berbagai himpitan ekonomi di kehidupannya.

Dua sisi koin

Gencarnya teknologi ramah lingkungan ini tak lepas dari efek modernitas yang merupakan pisau bermata dua. Di tengah modernisasi yang masih saja berlangsung, efek sampingnya pun berjalan bergandengan bersamanya. Hal ini karena efek dari modernisasi yang mencakup kerusakan lingkungan dan dimensi kehidupan manusia lainnya merupakan suatu hal yang inheren dalam modernitas.

Misalnya, walau produsen memproduksi barang yang ramah lingkungan, namun tetap saja truk-truknya menghabiskan banyak bahan bakar untuk berkeliling pelosok daerah demi mendistribusikan produknya. Di saluran National Geographic hari Kamis 20 Januari misalnya, pada episode tentang pembuatan truk tipe 387 oleh produsen truk Peterbilt di Amerika. Setiap tahun truk-truk besar menghabiskan ratusan ribu galon bahan bakar dan jarak ratusan ribu mil. Perjalanan ini lebih jauh dari perjalanan ke bulan.

Belum lagi upah para buruh yang kecil. Hal ini tentu berakibat pada sulitnya mereka mengakses berbagai kebutuhan. Seperti air bersih, kesehatan, atau tempat tinggal yang layak huni. Efeknya dapat kita lihat. Banyak dari mereka masih menggunakan sungai untuk MCK. Kemampuan ekonomi yang pas-pasan juga membuat mereka mengesampingkan masalah lingkungan dan memprioritaskan masalah perut. Intinya, walau produsen tersebut menciptakan produk ramah lingkungan, namun tetap saja mereka menciptakan efek berantai pada kerusakan lingkungan yang dapat dirunut dari mulai proses produksi hingga gaya hidup para pekerjanya.

Namun dari hal di atas setidaknya dapat terlihat bahwa dengan melihat kondisi lingkungan dan tuntutan dari berbagai pihak, para produsen kini telah berusaha lebih keras dalam upayanya menciptakan barang yang ramah lingkungan. Mereka kini berusaha merayu konsumen dan bersolek dengan kosmetik yang namanya produk hijau.

Aha, yang hijau kini lebih catchy!

***