Dari Sepi Kembali Ke Sunyi

Kata seorang filsuf, kalau tidak salah namanya Kierkegaard, spesies yang namanya manusia itu amat takut dengan yang namanya kesunyian. Oleh karenanya, mereka membangun peradaban. Mereka mencoba membunyikan kesunyian yang selama ini lebih mendominasi hidupnya. Maka, diciptakanlah berbagai macam hal demi menyokong eksistensi manusia di muka bumi ini.

Mereka babad hutan-hutan. Mereka jadikan lahan pertanian. Dengannya mereka tak lagi nomaden. Mereka juga temukan irigasi, sehingga sawahnya dapat diolah dan terus menghasilkan sepanjang tahun. Kini mereka mempunyai cadangan makanan di lumbungnya. Maka, kini mereka semakin menancapkan dirinya di sini.

Binatang liar pun mereka jinakkan, mereka domestifikasikan demi kebutuhan tambahan pangan. Mereka gembalakan di padang rumput yang luas kemudian mereka ambil daging, bulu, kulit, dan susunya. Mereka rayu agar bisa mereka tunggangi dan menjadikannya kargo untuk membawakan barang-barang berat mereka. Kini mereka tak lagi sepi, ada spesies lainnya yang membantu hidupnya.

Setelah kebutuhan pangan dapat terpenuhi, agar tak terlalu sepi dan ngantuk, mereka juga kobarkan peperangan. Mereka bentuk tentara, mereka lawan dan coba taklukan daerah lain. Kemudian, mereka ambil manusia taklukannya untuk menjadi budak di wilayahnya. Mereka paksa budak itu bekerja. Demi membangun peradabannya, membangun gedung, patung, dan altar pemujaan yang megah. Kini mereka mempunyai bukti bahwa mereka pernah begitu berjaya di muka bumi ini.

Namun mereka masih juga merasa kesepian di permukaan bumi. Akhirnya mereka gali dan masuk ke dalam tanah. Laut dalam pun mereka selami. Mereka cari minyak, emas, batubara, dan mineral lainnya. Akhirnya mereka dapatkan material tersebut. Kemudian dibabad lagi hutan, mereka kini bangun pabrik yang besar disekitarnya. Akhirnya mereka mendapat untung dan menjualnya untuk memutar roda kehidupan agar berjalan lebih cepat. Agar manusia dapat diterangi listrik hingga bisa beraktivitas siang dan malam, agar manusia memiliki mobil, kapal, kereta, dan pesawat sehingga dapat bergerak lebih cepat. Maksudnya agar lebih efisien katanya.

Apalagi yang kurang? Eh, Ternyata mereka masih juga kesepian. Mereka ingin memadatkan ruang, menyatukan waktu. Mereka gali lagi tanah, nyemplung ke laut lagi, pasang tiang-tiang besi kokoh, pasang kabel-kabel optik, dan mereka ciptakanlah telegram, telepon, pager, handphone, internet dst. Kata Yasraf A. Piliang, ini merupakan dunia yang dilipat. Dunia mereka lipat, emosi bisa mereka singkat.

Kini mereka tak lagi kesepian. Sawah mereka kini menghidupi anak cucu, keturunan yang beranak-pinak. Populasi meningkat tajam. Lahan mereka pun dipaksa berproduksi lebih. Sawah kini dipaksa terus berproduksi sepanjang tahun, tanah tak dapat beristirahat untuk mengambalikan unsur haranya, dan kini mereka pun menuai hasilnya. Ya, katanya gara-gara revolusi pertanian, mereka dipaksa memakai berbagai obat. Akibatnya, hama semakin menjadi-jadi, kandungan unsur hara di tanah semakin sedikit dan kini mereka semakin begitu tergantung terhadap yang namanya obat ini. Obat-obat yang diproduksi oleh korporasi multinasional. Zat nyatanya tak dapat banyak membantu mereka untuk menghindari puso.

Setelah hutan mereka babat, kini mereka sangat tak kesepian lagi. Banjir kini sering melanda, air tanah mulai susah, bahkan binatang liar pun kini mulai menyapa ke pemukiman mereka. Mereka benar-benar tak kesepian lagi. Mereka kini was-was dan mulai menjerit.

Sungai pun kini menjadi lebih ramai. Riak-riaknya kini mulai menghantui manusia di sekitarnya. Pendangkalan terjadi, sungai semakin kotor, dan di beberapa daerah bahkan telah tercemar oleh merkuri akibat hasil penambangan. Ikan pun kini semakin jarang ditemukan di sana. Akhirnya deras air sungai menenggelamkan, menyapu, dan menganyutkan rumah mereka. Kini mereka tak lagi kesepian. Mereka trauma, sedih, dan ketakutan.

Tanah pun kini mulai menyapa manusia. Ia sudah mulai menguburkan rumah-rumahnya. Unsur haranya kini makin sedikit. Tanah menjadi begitu “berwarna”. Di saat kemarau, tanah kering kerontang. Hanya meninggalkan debu dan belek di mata. Terbelah dan tak memungkinkan vegetasi tumbuh di atasnya. Sebaliknya di saat hujan turun, ia menjadi begitu rapuh dan melahirkan potensi longsor baru. Kini hidup manusia nampaknya sudah makin ramai nampaknya.

Namun riuh ramai hidup manusia makin menjadi-jadi saat mereka mulai membangun pabrik. Besi dan baja yang mereka gali dan kini mereka jadikan metarial alat produksi. Mesin-mesin besar dan canggih kini mulai dekat dengan manusia. Asap mulai mewarnai langit biru. Sungai mulai berwarna-warni, zat kimia mulai terserap ke paru-paru pekerjanya. Para buruh terus berteriak sebaliknya pemodak berusaha memperkecil biaya produksi. Para pekerja hidup di lingkungan yang kumuh dan jauh dari kata higienis. Namun itu tak masalah yang penting mereka dapat terus bernafas walau udara yang mereka hirup pun semakin parah.

Apalagi setelah pabrik itu mendirikan cabang-cabangya di berbagai penjuru dunia. Hutan lagi-lagi dibabad, air tanah dikuras lagi, bahan di bawah tanah mulai digali lagi untuk material. Langit pun semakin gelap, bintang mulai jarang terlihat. Kapital terus berputar walau putaran kehidupan (ekosistem dunia) mulai tersumbat.

Ya, semuanya nampak terbayar dengan perekonomian yang semakin meningkat. Kini mereka sudah bisa membeli mobil atau motor. Mampu menaiki pesawat, kereta, dan kapal laut. Mereka juga bepergian lebih sering sekarang. Belum lagi di rumahnya yang memiliki teve, AC, sofa, dan listrik yang kini menerangi seisi rumahnya.

Mereka pun mampu membeli seperangkat ponsel, komputer canggih, atau gadget yang niscaya tak akan pernah mampu diperkirakan sebelumnya, bahkan oleh ramalan Jayabaya. Kini mereka sudah lebih dapat menikmati waktu luang mereka. Secuil waktu yang harus ditebus dengan kerja puluhan jam seminggunya. Internet juga mulai hadir. Kini yang jauh serasa begitu dekat, walau kadang yang dekat terasa lebih jauh.

Intinya mereka telah dapat lebih produktif walau dalam waktu yang bersamaan juga lebih “produktif” dalam menghasilkan sampah. Lihat misalnya bagaimana energi yang harus dibuang demi hanya membuat manusia dekat satu sama lain. Facebook. Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun servernya. Listrik yang harus menyala selama 24 jam, sampah yang dihasilkan pekerjanya, juga sampai-sampah yang dihasilkan oleh para facebooker di seluruh dunia selama mereka  tengah nyantai ngemil sambil facebookan.

Sekarang lihat! Ah, tak usah ! Cukup tutup mata dan rasakan saja. Dunia begitu ramai kan?

Ini kan yang dunia yang kalian idam-idamkan?

Lho kenapa kalian seperti kebakaran jenggot? Bukankah ini harga yang harus dibayar untuk membangun peradaban canggih mu sejak 10.000 tahun yang lalu?

Berangkat kerja macetnya luar biasa. Polusi sehari-hari memerihkan mata. Panasnya matahari juga begitu menusuk kulit dan seolah menggaruk ubun-ubun kepala. Musim kering tak jelas kapan datangnya, musim hujan datang tiba-tiba dan menenggelamkan banyak kehidupan manusia di dalamnya. Rantai dalam ekosistem mulai rusak sehingga roda kehidupan tak berputar sebagaimana mestinya. Fenomena alam, bencana, seolah datang dan pergi begitu saja. Meninggalkan tangis, menjadikan istri seorang janda dan membuat anak kecil penuh tawa menjadi seorang yatim. Hampa,

Kini semuanya seolah telah mencapai titik kulminasi. Mereka mulai berteriak, jengah akibat dunianya yang (terlalu) ramai. Mereka seoah menelan air liur mereka sendiri. Cita-cita mulianya dulu, kini mulai mereka sesali. Mereka sekarang mulai mencari kesunyian.

Namun tenang saja. Mungkin tak lama lagi mereka akan segera menemukan kesunyian. Kesunyian yang pasti tak akan dapat mereka hindari. Sunyi abadi yang menunggu mereka di depan. Entah kapan.

***